Skip to main content

Adil....?

Ada dua buah cerita yang saya dapat hari ini tentang adil. Dua-duanya mengandung esensi keadilan dari sudut pandang yang berbeda.

Cerita 1
Suatu hari ada dua orang kawan kedatangan seorang musafir yang lelah berpergian dan terlihat kelaparan. Dua orang tersebut hanya mempunyai roti untuk persediaan bekal mereka. Orang pertama memiliki 5 buah roti sedangkan yang lainnya memiliki 3 buah roti. Melihat sang musafir terlihat kelaparan dan menanyakan apakah mereka masih mempunyai persediaan makanan, mereka pun memotong tiap buah roti yang mereka punya menjadi 3 potong sehingga roti yang mereka miliki menjadi 24 potong. Lalu dibagilah 8 potong roti sama rata ke tiap orang untuk dimakan. Esok paginya sang musafir meninggalkan 2 kawan tersebut dengan 8 keping   emas.

Cerita 2
Pada setiap pagi, ayah memberikan uang jajan pada kedua anaknya. Anaknya yang lebih tua ia berikan uang jajan lebih daripada anaknya yang lebih muda. Suatu hari sang adik mengetahui hal tersebut dan proteslah ia pada ayahnya. Ia menganggap sang ayah telah tidak adil memberinya uang jajan yang lebih sedikit dari kakaknya yang seharusnya sama rata. Dengan bijak ayahnya menjelaskan kalau ia sudah sebesar kakaknya dan kebutuhannya meningkat, uang jajannya pun akan bertambah sesuai kebutuhannya. Mendengar hal itu sang adik maklum dan menerima keputusan ayahnya tersebut.


Analogi lain yang mirip dengan Cerita 2 bila kita mempunyai sebotol air minum dan hendak memberinya pada kedua orang teman kita yang baru saja datang menghampiri kita. Yang satu terlihat ngos-ngosan karena habis berlari sementara yang lain terlihat santai setelah berjalan. Bukankah lebih baik kita memberi porsi air minum yang lebih banyak pada teman kita yang terlihat ngos-ngosan dan haus? Tentulah kita tetap akan memberikann porsi minum tersebut kepada teman kita yang lain yang juga haus tetapi mungkin kebutuhan hausnya tidak sebesar teman kita yang lain. Atau tentang sepotong kue yang akan kita bagi lebih banyak kepada teman kita yang berperawakan lebih besar dan suka makan kue daripada yang berperawakan kecil dan apabila kue itu dibagi sama rata, si teman yang berperawakan kecil malah tidak dapat menghabisi kue tersebut pada akhirnya.

Dari cerita tersebut saya dapat sedikit pencerahan kalau yang dikatakan adil itu tidak selalu harus "membagi sama rata" seperti konsep matematika yang selalu exact. Banyak orang sering bilang "Apakah hidup itu adil?"  Lalu mereka pun mempertanyakan apakah Tuhan itu telah adil pada mereka.

Saya sempat teringat tentang teman saya yang sempat frustasi dan mempertanyakan keadilan pada Tuhan setelah dia berkali-kali gagal menembus ujian masuk Perguruan Tinggi Negri untuk jurusan yang dia inginkan. Hingga akhirnya dia kuliah di Perguruan Tinggi Swasta dengan jurusan yang dia inginkan tersebut. Mungkin memang benar dan saya bisa merasakan bila berada di posisi dia. Hati rasanya bagaikan hancur, hopeless dan super depresi. Tapi toh dia tetap bisa kuliah bukan, walaupun di Perguruan Tinggi Swasta yang memang tidak 'segengsi' kuliah di PTN hanya memang membutuhkan biaya yang lebih. Tapi itu justru yang membuat saya malah berfikir Allah Maha Adil. Itu bisa saja tidak adil menurut dia karena dia merasa sudah berjuang sekuat tenaga untuk bisa tembus PTN. Tapi dia datang dari keluarga yang sangat mapan. Orangtuanya dapat membiayainya kuliah di mana saja, swasta atau negri. Orang tua saya yang cukup mapan saja masih agak sangsi untuk menyekolahkan saya di PTS dengan jurusan tersebut. Sebagai pelecut saya, ayah saya bilang mending saya coba jurusan lain kalo ga tembus PTN untuk jurusan tersebut. Mau tidak mau memang saya sendiri sadar kalau itu tidak mudah. 

Setelah melancong setahun dan mengikuti program pertukaran pelajar tersebut, saya sadar banyak sekali tentang dunia yang saya 'buta'. Hidup saya dan lingkungan saya dulu sebatas teman-teman saya yang berkecukupan dan sekolah saya yang lengkap fasilitasnya. 

Saya belum pernah tinggal sendiri di keluarga orang yang sama sekali belum saya kenal sebelumnya atau sekolah di sekolah negri dan menjadi minoritas. 

Dari kecil saya selalu sekolah di sekolah swasta yang murid-murid sekelasnya tidak lebih dari 20 atau 30 orang dan seangkatanya paling hanya mencapai 100 orang. Saya hanya dua bersaudara, saya perempuan dan adik saya laki-laki. Tidak terbayang kalau perhatian yang ditujukan buat saya selalu maksimal dan saya pun berusaha untuk memaksimalkan potensi diri saya untuk berkembang. 

Tapi pengalaman setahun saya kemarin seperti benar-benar membuka mata saya tentang hidup ini. Saya sempat merasa dulu kalau hanya saya yang kelihatannya memikirkan dan berjuang untuk masa depan karena masa-masa sulit di keluarga saya. Juga karena saya anak yang penurut dan memang seseorang yang berpegang teguh pada moral dan keyakinan yang saya yakini. Sementara saya merasa teman-teman saya dari kalangan yang berkecukupan memikirkan masa depan dengan mudah, terbiasa hidup enak dan mudah.

Setahun kemarin, saya sempat merasa insignificant di tengah lautan manusia di Public High School sekolah saya. Menjadi minoritas, dan satu-satunya anak exchange student dari 2500 murid di sekolah tersebut yang bahkan jumlah tersebut masih lebih banyak dari gabungan murid di sekolah saya dari SD sampai SMA. Atau menjadi salah satu anak dari keluarga yang mempunyai 3 orang anak, yang bahkan hostmom saya sempat bilang kalau dia punya anak ga cuma saya saja yang harus diurusi, dia punya anak-anak lain juga. Saya juga sempat merasa 'kecil' dan sempat tidak menyangka bisa menjadi bagian dari teman-teman AFS-er saya yang super luar biasa dengan pemikirannya, wawasannya dan talentanya yang unik. 

Saya lihat kalo bule Amerika juga ga semuanya kaya dan hidup mudah. Kita bilang negara kita miskin tapi yang saya lihat di lingkungan saya orang-orang hidup lebih dari berkecukupan. Kebanyakan orang berkecukupan di Indonesia mempunyai pembantu dan pelajarnya hanya sekolah, jarang ada yang bekerja. Di sana, bahkan para pelajar SMA mostly have a job to pay for their own expenses and expected by their parents to be independent. Ga ada ngomongin masalah pembantu, semua anggota keluarga punya choresnya sendiri di rumah dari bapak, ibu sampe anak-anaknya yang laki-laki maupun perempuan. 

Tingginya appreciation dan human resources di sana mungkin itu yang membuat setiap orang harus belajar mandiri. Semua serba sendiri. Gaji orang lain mahal, lebih baik kerjain sendiri. Di sini tinggal panggil tukang air, tukang kebun, tukang ledeng, pembantu, supir, semua ada dan siap digaji untuk hidup dibawah garis sejahtera. 

Temen exchange saya dari Jerman bilang "Oh yeah  our country is rich, but no, I'm not rich, we're not like that" kata temen saya yang exchange ke sana juga mana bisa mandi kayak luluran yang notabenenya buang-buang air di sana. Hidup orang sana pas-pas aja, ga miskin ya ga kaya. Mayoritas penduduk negara maju ya itu, hidupnya udah sejahtera ga mesti kaya dan glamor. Lah kalo kita di sini, bilangnya aja negara miskin, berkembang sih judulnya (tapi kok perkembangannya lambaat bener deh), tapi orang-orangnya hidup glamor dan konsumtif. Hidup orang-orang sana dipenuhi community service, kerja, kunjungan ke museum, apresiasi sejarah tinggi. Di sini mall bersliweran dimana-mana. Hiburan ya ke mana lagi kalo ga ke mall -_- ujung-ujungnya ya belanja ngabisin duit. Saya emang ga ngomongin masalah partynya orang-orang bule, tapi jangan salah kira, saya aja kaget ternyata di Amerika banyak banget keluarga yang konservatif. Rata-rata orang sana parno abis, temen-temen bule saya banyak yang mau jadi exchange student kayak saya ke negara lain aja ga dibolehin sama orang tuanya. Ada yang ga punya hp, punya hp ga bisa sms-an atau belom nginep di rumah temen, bahkan ga boleh nonton harry potter! Kebayang kan, konservatif nya orang Amerika (yang mostly berdasarkan aliran kristen yang mereka anut sih kayak Mormon, Lutheran, Baptist, dll), persepsi kayak gitu yang bikin saya liat sisi lain orang-orang sana.

Saya awalnya sempet ngira kalo orang-orang Amerika tuh self-centered banget mentang-mentang negara mereka superpower. Jadi bisa semena-mena gitu sama negara lain atau nanya-nanya hal-hal ga penting ke saya tentang Indonesia, yang saya suka bilang silly and stupid questions. Tapi setelah itu saya sadar setelah tahu kalau negara saya itu memang bener gak ada apa-apanya sama mereka dan minimnya pengetahuan mereka tentang Indonesia dan sebagian besar mereka bahkan belum pernah berpergian out of states mereka apalagi keluar negri. 

Saya seneng banget baca novel-novel kisah perjuangan yang inspiratif (Laskar Pelangi, Negri 5 Menara, 9 Summers 10 Autumns, dll.) dan bacain blog-blog orang juga. Saya sadar banyak orang di Indonesia masih hidup susah. Mau kulia susah. Biaya mahal. Apalagi sekarang, tambah mahal tambah susah. Saya heran kenapa pendidikan belum bisa diperoleh dengan mudah untuk semua kalangan. Suka gemes aja gitu di US sana kok beasiswa dimana-mana, ga susah dapetinnya, ga mesti pinter-pinter amat atau miskin banget buat dapetinnya, yang penting aktif buat nyarinya. Di sana universitas malah yang nawar-nawarin kita buat masuk ke sekolah mereka bahkan nawarin tur kampus sebelum masuk dan beasiswa. Gara-gara data saya ada di college board jadi lah banyak e-mail nge junk dari universitas di sana. Coba aja saya ga mau jadi dokter dan resident US, udah ga pusing kali saya mikirin kuliah -_-. Di sini ya Allah boro-boro dapet beasiswa, masuknya aja setengah mampus deh. Malah kata temen saya kalo nilai kita emang bagus terus ngajuin beasiswa tapi orang tua kita masih mampu, dari sananya sampe ditekenin kalo kita bakal ambil jatah orang yang kurang mampu dari kita. Nah bisa jadi ga bersikap adil kan kita.

Diskusi panjang lebar di grup AFS atau skype an sama mereka tentang arti perjuangan juga. Abis itu saya dapet insight tentang the real life. Berasa baru jejek bumi Indonesia. Awalnya saya ngeliat temen-temen daerah lain sebelah mata karena saya dari kota besar. Tapi ternyata kita sama kok, sama-sama orang Indonesia dan bahkan mereka lebih menginspirasi saya buat 'jejek bumi'. Lucu aja kalo liat komen-komen temen-temen mereka yang bilang asik ya ke luar negri atau ngerasain salju atau minta oleh-oleh. Atau ada yang cerita temen-temennya di Indo ada yang add temen-temen mereka di US karena notabene nya bule mungkin, atau sekedar 'nambah2in' daftar list friends mereka di facebook. Terus waktu mereka takut ngerasa sok Amerika atau kebarat-baratan pas balik ke Indo dan di sekolah, takut keceplosan ngomong Inggris lah. 

Hal-hal itu beda banget sama apa yang saya hadapi. Sekolah saya sekolah Internasional yang emang sehari-hari guru ngajar juga pake bahasa Inggris dan temen-temen saya kadang campur ngomong inggris. Ke luar negri mah mereka mungkin lebih sering daripada saya. Sekolah saya juga sering banget ngadain acara homestay gitu kerjasama sama lembaga mana gitu atau banyak juga yang ikut CISV, semacam exchange program buat short term period atau pas summer. Saya mau ngomongin masalah perjuangan, kerja keras, biaya susah mana kepikiran sama mereka. Abis itu saya suka ngerasa ada di dua sisi, saya ngerasa ga ada yang ngerti saya, bingung mau ngomong ke mana. Yah dari semenjak saya under pressure harus bagi waktu organisasi, sekolah, sama les-les juga (apalagi les piano bertahun-tahun yang bener-bener nyita waktu dan buat stres -_-) saya ngerasa temen-temen saya juga ga ada yang ngerti itu. Bagi mereka sekolah dengan tugas numpuk aja udah beban. 

Dulu saya emang ngerasa capek, egois, selalu mikir ini semua tentang saya, kalo perjuangan saya udah paling parah, kalo rasanya kerja keras saya kok ga ada ujungnya, do I really deserve to delay gratification and get the rewards afterwards? Is it worth enough for my youth age? Apakah satu tahun yang lalu itu bener-bener berguna buat saya? Do I really let go for that one year? Sia-sia ga perjalanan saya setahun?  Worth it ga sama apa yang harus saya korbanin? 

Saya paham sekarang kalau Allah memang adil kepada setiap makhluknya sesuai dengan kebutuhannya. Karena memang Dia lah yang Maha Mengetahui kalau kebutuhan kita telah tercukupi. Mungkin itu adil buat semua. Saya bersyukur dengan setahun terakhir kemarin yang membuka cakrawala saya. Meperluas koneksi saya. Dan semoga membuat saya menjadi lebih baik. Kata temen saya mungkin hilangnya saya dari peredaran sekolah saya bisa ngurangin saingannya dia masuk kuliah (haha) dan mungkin aja ada rencana besar Allah dengan pencapaian saya selama di sana bisa membantu saya lebih giat buat nembus PTN dengan jurusan yang saya mau. Omongan saya emang banyak out of topic tapi kembali pada esensi adil kembali semoga itu emang memenuhi kebutuhan kita dan yang terbaik buat kita.

-NA


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Poem Collection from 7 Habit Highly Effective Teens from Sean Covey

#1: Who am I?  I am your constant companion. I am your greatest helper or heaviest burden. I will push you onward or drag you down to failure. I am completely at your command. Half the things you do you might just as  well turn over to me and I will be able to do  them quickly and correctly. I am easily managed--you must merely be firm with me. Show me exactly how you  want something done and after a few lessons  I will do it automatically. I am the  servant of all great individuals and, alas, of  all failures, as well. Those who are great I have made great. Those who are failures, I have made failures. I am not a machine, though I work with all the precision of a machine plus the intelligence of a human. You may run me for a profit or run me for ruin--it makes no difference to me. Take me, train me, be firm with me,  and I will place the world at your feet. Be easy with me and I will destroy you. Who am I? I am habit #2: Man in the Mirror I'm starting with the man in the mirr

Excerpts from Teman Imaji

Kotatsu: Kopi atau Susu K: "Menurut Mas, ya, lebih enak mana. Lampu merah yang ada penghitung mundurnya. Atau yang tidak? B: "Hmm.. Dengan penghitung mundur. Supaya sambil menunggu, bisa melakukan hal yang lain. Kalau waktunya sudah dekat, bisa bersiap dan bergegas." Kalau kau? K: "Tanpa penghitung mundur. Menunggu jadi seru saat kita tak tahu kapan akan berakhir. Kita akan menghargai setiap detik penantian." B: "Masa?" K: " Iya. Nilai sesuatu lebih berharga saat kita belum memilikinya. Atau, sudah tak memilikinya lagi." B: "Kan, lebih enak kalau tahu semua kenyataan. Apa adanya," K: "Kadang tak tahu, lebih baik dari tau. Lebih baik daripada tau sesuatu tapi tak jujur. Atau tau setengah-setengah, tapi ujungnya kita salah menduga. Atau yang jujur, tapi terlalu pahit." B: "Saya menyimak" K: " Allah itu Mahacanggih. Nggak semua hal dikasih tau ke kita. Karena kita belum siap tau kenyataannya

A Tale of my Two used to be "Friend"

  Ternyata cerita drama atau sinetron itu klo kejadian ke diri lo sendiri itu lebih sakit adanya ngejalaninnya. Gw mau cerita ttg dua orang yang "dulunya" pernah jadi temen gw. Yang satu temen gw di sekumpulan grup pecinta alam yang suka naik gunung bareng. Pernah kerja bareng di suatu acara intra kampus dengan jadi koordinator bareng. Berlanjut sampe bantuin gw skripsian, ya cukup diandalkan lah buat dimintain tolong buat sekedar jemput gw subuh2 di stasiun kereta atau saling support selama koas yg bikin orang vulnerable karna jauh dari orang tua dan tuntutan kerjaan yang bikin lelah hati dan pikiran. Oh tapi ga cuma2 jg dong dia bantuin gw karena yg ada jg dia butuh gw, tiap stase pinjem buku gw, pinjem alkes pun dan ga lupa jg minta operan stase pdhl kita stase bareng aja gapernah jadi senior junior stase jg ga pernah. Entah itu modusnya buat selalu ada bahan ngobrol sama gw atau main bareng gw atau emg simply dia ga modal aja anaknya. Sempet dikecewain karena ternyata pa